Sabtu, 04 Juni 2011

Resensi Film : "Front of the Class"

Seperti biasa, jika sudah didepan komputer saya gak bisa diem, browsing sana-sini. Awalnya saya iseng memasukan keyword "Film Pendidikan" di mesin pencari. Alhasil muncullah ribuan link yang memuat tentang keyword yang saya masukan. Akhirnya mata saya tertuju pada sebuah blogsite, saya buka blog tersebut dan muncullah beberapa link download untuk itu. Ada sebuah judul yang menarik, "Front of The Class" dan saya putuskan untuk mendownload tuh film. Selesai mendownload ternyata banyak hikmah yang didapatkan dari film tersebut, dan inilah resensi filmnya...


Front of the Class didasarkan pada kisah nyata Brad Cohen seorang penderita Tourette Syndrome. Ohh iya Tourette syndrome sendiri adalah suatu gangguan saraf dan perilaku (neurobehavioral disorder), dicirikan oleh aksi tak disadari, berlangsung cepat (brief involuntary actions), berupa tics vokal dan motor, juga disertai gangguan kejiwaan (psychiatric disturbances). Sejak kecil, Cohen sering dihina oleh teman-temannya, bahkan gurunya sendiri pun sampai kesal dengan prilaku yang diakibatkan oleh tourette syndrome yang diderita Cohen. Begitu pun Ayahnya, dia masih belum bisa menerima kala sang anak menderita tourette syndrome, hanya Ibuny lah yg selalu manguatkan Cohen.

Cohen kecil pun akhirnya lulus dan kembali melanjutkan sekolahnya, namun dengan sekolah yang baru, teman-teman yang baru, guru-guru yag baru, ternyata tetap tidak merubah nasib Cohen kecil, ia seperti di diskriminasikan dari kelasnya. Hingga pada suatu hari, saat KBM berlangsung, tak sengaja kembali Cohen kecil menganggu seisi kelas dengan bunyi-bunyian yg ia keluarkan dikarenakan pengaruh tourette syndrome yang dideritanya. sang guru pun kesal dan akhirnya menyuruh Cohen menghadap kepala sekolah. Akhirnya datanglah Cohen menghadap kepala sekolah. Singkat cerita, Cohen pun disuruh untuk datang di acara orkestra sekolah oleh kepala sekolah. Tentu Cohen menolak, karena dengan datangnya dia di acara tersebut bisa menganggu jalannya acara. Namun kepala sekolah tetap untuk menyuruhnya datang di acara tersebut.

Dan tebakan Cohen pun benar, sepanjang orkestra tersebut Cohen tak henti-hentinya mengeluarkan suara-suara yang tak lazim yang menggangu jalannya acara. Beberapa anak yang teman sekolah juga memintanya untuk diam, mencacinya dan bahkan memandangnya penuh kebencian. Hanya karena suara yang ditimbulkan oleh Cohen tersebut. Setelah acara selesai sang kepsek naik kepodium, dan menjelaskan asal dari suara tersebut, dan akhirnya kepsek memfasilitasi keinginan Cohen yang ingin diperlakukan seperti orang lain pada umumnya. Dari sinilah asal muasal Cohen ingin menjadi seorang guru.

Cerita berlanjut ke dalam kehidupan dewasa Cohen. Cohen yang berhasil lulus Universitas dan langsung mengajukan proposal diri di berbagai sekolah untuk bisa bekerja, ya...bekerja sesuai impiannya yaitu mengajar sebagai guru. Jalan yang ditempuh Cohen tidaklah semulus yang didiga. Tourette syndrom lagi-lagi yang menjadi alasan penolakan dari berbagai sekolah. Cohen pun sempat frustasi. Ia lalu mengisi waktu sebagai buruh lepasan ditempat Ayahnya bekerja. Hubungan Cohen dengan Ayahnya kurang baik semenjak Ayahnya menikah lagi wanita lain. Cohen berspekulasi kalau Ayahnya tidak menerima keberadaannya sehingga lari dari kenyataan. Ayahnya pun hanya membiarkan hubungan anak ayah tersebut tetap berlanjut, namun dalam suatu kondisi yang kikuk dan hanya “sekedar” saja.

Akhirnya kesempatan yang ditunggu pun tiba, seorang Kepala Sekolah dalam suatu wawancara yang melibatkan semua unsur sekolah mulai dari kepsek, staffsekolah hingga guru mewawancarai Cohen. Semuanya sangat antusias dan akhirnya Cohen pun mendapatkan pekerjaan sebagai guru. Saat mengajar anak-anak Cohen sangat antusias dengan pekerjaannya sebagai guru. Usahanya Cohen untuk mengajar kelas tak sia-sia, Cohen menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Para murid, pada awalnya menghina kekurangan Cohen tersebut. Namun, Cohen dengan sabar menjelaskan tentang penyakit yang dideritanya. Hal pun berlanjut hingga dia mendapatkan predikat Guru Terbaik sekawasan daerah disana.


Film ini penuh dengan inspirasi yang disampaikan dengan gaya yang ringan, gampang dicerna dan tidak rumit. Berbagai scene yang ditampilkan dalam film ini benar-benar sangat menyentuh hati, terlebih pada mereka yang sering menganggap sebelah mata orang” cacat. Pelajaran inti dari film ini adalah jangan pernah menyerah seburuk apapun cobaan yang kamu alami, karna pada akhirnya, selalu ada jalan untuk mencapai kebahagiaan

Film "Front of the Class" ini sangat memberikan inspirasi, layak untuk ditonton terutama bagi para guru dan pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar